Notification

×

Iklan

Iklan

PILPRES 2024 dan LOGIKA APRIORI: MENGUJI RASIONALITASO

15 Apr 2024 | 14:25 WIB Last Updated 2024-04-17T23:25:50Z
JAKARTA _Terbaik. Terhebat. Terunggul. Dan memang luar biasa. Tak ada satu cacat pun, atau kelemahan. Itulah kecenderungan semua elemen masyarakat saat memilih calon pemimpinnya. Sebuah kecenderungan lazim yang juga berlaku pada pemilihan presiden (pilpres) 2024 kemarin. Bisa dimaklumi. Yang perlu kita kritisi lebih jauh, bagaimana kualitas logika apriori ini? Rasionalkah, atau sebaliknya: irasional dan stupid bahkan super dungu?

Tentu sangat lemah kualitas sikap dan cara pandang apriori itu, apalagi terdapat kandidat lainnya sebagai penilaian komparatif. Masing-masing di antara yang dipilih pasti memiliki keunggulan, di samping kelemahannya. Maklum. Tak ada manusia sempurna. Yang sungguh memprihatinkan adalah adanya puluhan juta orang pendukungnya yang tergolong educated. Tapi, kalangan ini justru ikut membangun bahkan mengkristalkan pandangan sempit yang cenderung menyesatkan. 

Lebih memperihatinkan lagi, adanya kalangan yang membela secara all out dengan mengesampingkan sejumlah titik lemah yang ada. Itulah perilaku kalangan kuasa hukum dan atau saksi ahli dari pasangan calon (paslon) Prabowo-Gibran (Pragib) yang kini posisi politiknya sedang diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) pasca perolehan suaranya diumumkan KPU pada 20 Maret lalu.

Sekali lagi, dengan sikap apriorinya, Tim Kuasa Hukum dan sejumlah saksi ahli pro Pragib mengabaikan dan atau tak mau lihat jutaan data yang bermasalah secara hukum, prosedur adiministrarif, politik, bahkan data yang terinformasikan secara sistemik dan massif. Apakah mereka sudah hilang ingatan, buram bahkan buta penglihatan, bahkan tuna rungu? Beberapa pertanyaan mendasar itu perlu kita cross-check dalam tataran obyektif di lapangan.

Sebagai orang hukum, tentu tahu persis duduk perkara putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023. Meski bersifat final and binding putusan MK itu, tapi jelas melanggar etika berat. Cacat secara moral. Problematik. Mengapa kedudukan hukum Gibran sebagai calon wakil presiden (cawapres) tetap dibela secara all out, padahal merusak citra dirinya sebagai praktisi hukum, apalagi ilmuan? Apakah tak terpikirkan dampak kontigionnya dalam kaitan konstruksi hukum yang mudah dipermainkan dan diperalat oleh entitas penguasa? Di mana posisi kedaulatan hukum saat berhadapan dengan kekuasaan? Sebagai lawyer papan atas, ternyata sudah berubah menjadi manusia stupid, naif argumentasinya dan mudah dipatahkan karena proporsinya membela “barang busuk”. Panggilan nurani keberadilan sudah terkikis habis. Posisinya sebagai lawyer papan atas gagal total menjaga marwah hukum yang bersemboyan “keadilan yang harus tegak atau ditegakkan”. 

Peraturan KPU No. 19 Tahun 2023 yang belum diubah prasyarat usia batas minimal 40 tahun bagi capres-cawapres, mengapa Tim Kuasa Hukum 02 tetap ngotot membela dan membenarkan posisi cawapres Gibran, padahal jelas-jelas menabrak hukum administrasi pendaftarannya? Di mana logika hukum yang membenarkan sikap apriori itu? Sebuah sikap yang “membabi-buta” yang super ngawur dan tak bermoral. Minimal, mencederai marwah hukum yang harusnya dikibarkan dengan penuh hormat.

Yang menghehankan lagi, “celetuk” saksi ahli 02 yang menarasikan, “kok baru sekarang ribut dan meributkan setelah kalah”. Ala maak. Seorang doktor senior menjadi hilang akal sehatnya, atau tak mampu berlogika secara waras. Diksi “ribut atau meributkan” menggambarkan adanya sejumlah persoalan serius pada penyelenggaraan pemilu (pilpres), sebelum, saat berlangsung bahkan setelah pencoblosan. Dan kicau itu juga menggambarkan dirinya yang sudah lupa ingatan tentang sengketa pilpres, yang – secara prosedural – memang harus dibawa ke MK. Bukankah langkah ke MK juga dikehendaki tim kuasa hukum 02? Atau, saksi ahli memang harus bersikap “poko`e”? Ada apa di balik sikap ngototnya? Demi “cuan” atau fasilitas lainnya?

Dan satu aspek lagi, narasi tentang posisi “kalah” juga menunjukkan lagi tentang hilangnya ingatan yang kedua kalinya bagi sang saksi ahli. Dan bagi seluruh elemen masyarakat yang mempersoalkan masalah posisi kalah dan bersikap nyinyir terhadap proses penyidangan di MK, hal ini menunujkkan ketidakpahamannya. Ketetapan KPU belum final. Masih ada tahaban untuk mendapatkan legalitas resmi sebagai pemenang setelah ditetapkan. Itupun jika rakyat tak melakukan reaksi demonstrarif pasca pengumuman MK. 

Unjuk rasa juga bukan berarti tak terima “kalah”, jika persekongkolan dengan rezim tetap dimainkan. Permainan konspiratif memang harus dijawab dengan brutalisme. Gerakan revolusioner seperti ini merupakan konsekuensi logis dari kondisi negeri ini yang memang sudah di tepi jurang dan sudah sangat tinggi stidumnya. Harus diselamatkan. Dan opsinya hanya satu: tak boleh berkuasa lagi rezim penguasa yang diorbitkan Jokowi ini. No way for rezim boneka. 

Ada yang menarik untuk kita lansir dari sebuah statemen agamis yang tekesan on the track. “Kemenangan Pragib sudah takdir”. Berarti, memang Allah menghendakinya. Wait a moment. Nanti dulu boss. Jangan bicara taqdir, karena sebelumnya ada qadla. Selagi masih dalam rentang “qadla”, elemen manusia berhak meminta dan memperjuangkan untuk mengubah taqdir itu, apalagi untuk sektor kehidupan yang bukan kauniah. 

Dalam hal ini, proses pengujian sengketa bagian dari perjuangan untuk mengubah ketentuan sebelum Allah “mengetok palu” (taqdir). Perjuangan ini harus dilakukan, karena memang terjadi banyak persoalan serius. Persoalan serius inilah yang harus dilihat secara proporsional. Bukan tak terima kalah. Dalam hal ini memang ada penyesatan pemahaman keagamaan yang harus diluruskan. Jangan memaksa Allah untuk menentukan (taqdir), padahal terdapat kebenaran yang disembunyikan bahkan digelapkan. Allah tegaskan, “janganlah kalian sembunyikan sesuatu yang haq (benar) dan (diganti) dengan sesuatu yang bathil” (Q.S. ….). Sebuah landasan teologis yang layak dikaji kembali oleh Miftah, yang kondang dipanggil “Gus” itu. Juga, para pihak yang sealam pikiran dengan ustadz nyeleneh itu.

Dan satu lagi, yang layak kita uji rasionalitasnya. Persoalan politisasi bansos dan penggemlembungan suara sudah terviral informasinya di media sosial. Sebuah pertanyaan mendasar, apakah para kuasa hukum dan para saksi ahli 02 tak memiliki HP android dan atau tak pernah membuka alat komunikasi itu? Pertanyaan yang sama, apakah seluruh pendukung fanatik 02 tak pernah menyaksikan seliweran informasi atau tayangan politisasi bansos dan penggelembungan hasil rekapitulasi dari berbagai TPS se-tanah air ini?

Sangat tak mungkin. Mereka pasti tahu dan pernah dapatkan informasi kejahatan politik tendensius itu. Yang menjadi persoalan, mengapa mereka harus ngeyel (menolak validitas) informasi tentang politisasi bansos dan hasil-hasil rekapituasi suara yang dipresentasikan di tengah MK? Bahkan, mengapa Yusril Ihza Mahendra keberatan ketika saksi ahli 01 atau 03 menayangkan video politisasi bansos yang dilakukan Zulkifli Hasan? 

Yang perlu kita garis-bawahi, keberatannya menunjukkan sikap apriorinya, tanpa melihat kebenarannya. Takut terbuktikan dalil pemohon? Sikap apriori ini tergolong masuk dalam falsafah “Poko`e, klienku tak pernah salah”. Terserah dirimu berfalsafah seperti itu. Tapi, sebagai lembaga pengadilan, MK berhak dan berkewajiban mendapatkan informasi yang dinilai penting. Punya makna untuk menentukan sikap yang berkeadilan dalam kepastian hukum. Bukan mereka-reka.

Akhirnya, publik – apalagi para hakim MK – menyaksikan, setidaknya dapat menggaris-bawahi logika apriori yang dibangun kuasa hukum dan para saksi ahli 02 memang irasional. Sama sakali tak berakal sehat. Sangat tidak rasional. Hilang nuraninya. Tak punya malu. Dasar rai gedhek. Demi apakah? Cuan atau jabatan yang ditawarkan? Sangat boleh jadi, Hak kalian untuk mendapatkan sesuatu yang sangat pragmatis. Tapi, haruskah mengkhianati kepentingan bangsa dan negara? Biadab. Tak bermoral. Tak beda jauh dengan kaum penjajah, imperialis meski sesama berkulit sawo matang. Alias – meminjam istilah Pribumi masa lalu – “Londo Ireng”. Dan itu – menurut Bung Karno – jauh lebih sulit dihadapi dibanding imperialis sesungguhnya.

Tasikmalaya, 11 April 2024
Penulis: analis politik
×
Berita Terbaru Update